Stepi Anriani Menyatukan Intelijen, Ekonomi, dan Kemanusiaan dalam Satu Visi Nasional

 


Pemikir Strategis di Persimpangan Era

Di tengah arus perubahan global yang penuh ketidakpastian, sedikit tokoh mampu menautkan dunia intelijen dengan ekonomi dan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun Stepi Anriani membuktikan bahwa ketiganya tidak hanya bisa dipertemukan, tetapi juga harus bersinergi jika Indonesia ingin bertahan sebagai bangsa yang berdaulat.

Dalam lintasan kariernya—dari mahasiswa riset di Papua hingga pejabat strategis di Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS)—Stepi menunjukkan bahwa intelijen bukan sekadar seni membaca ancaman, melainkan kemampuan memetakan masa depan dengan presisi dan empati.


Intelijen Sebagai Ilmu Kehidupan

Stepi menganggap intelijen bukan dunia gelap yang penuh misteri, melainkan ilmu membaca realitas sosial dan ekonomi secara mendalam.
Ia kerap mengatakan bahwa seorang analis sejati harus memahami denyar kehidupan masyarakat sebelum menyusun rekomendasi strategis.

Dari pengalamannya di lapangan, ia melihat bahwa banyak konflik berakar pada ketimpangan ekonomi dan komunikasi.
Masyarakat yang merasa terabaikan mudah terjerumus dalam radikalisme, sementara pemerintah yang gagal membaca tanda sosial berisiko kehilangan legitimasi.
“Intelijen seharusnya menjadi jembatan pemahaman, bukan sekadar pengawas,” ujarnya dalam salah satu forum keamanan nasional.

Dengan pemikiran semacam ini, Stepi memperluas batas peran intelijen dari sekadar pertahanan ke arah pembangunan berkelanjutan.


Konsep Intelijen Ekonomi: Senjata Baru di Era Global

Salah satu sumbangan pemikiran paling menonjol dari Stepi adalah gagasan tentang intelijen ekonomi.
Baginya, ancaman terhadap negara tidak lagi datang dari invasi militer, tetapi dari krisis finansial, manipulasi pasar global, hingga ketergantungan rantai pasok.

Ia menilai bahwa di era geopolitik multipolar, kekuatan ekonomi sama vitalnya dengan kekuatan militer.
Negara yang tidak mampu membaca arah pasar dunia akan menjadi “sasaran empuk” tekanan ekonomi dari kekuatan besar.

Maka, ia menekankan pentingnya kemampuan mengumpulkan, menganalisis, dan mengantisipasi data ekonomi strategis agar Indonesia tidak hanya reaktif terhadap perubahan, tetapi proaktif menentukan arah kebijakannya.

Konsep ini kemudian banyak dikaji di lingkungan akademik dan lembaga kebijakan, menjadikan Stepi salah satu pionir pemikiran intelijen ekonomi di Asia Tenggara.


Menghadirkan Wajah Kemanusiaan dalam Keamanan

Meski dikenal sebagai pemikir strategis, sisi kemanusiaan Stepi tak pernah pudar.
Ia percaya bahwa keamanan sejati tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan dan martabat manusia.

Dalam banyak kesempatan, ia menolak pendekatan keamanan yang meniadakan dimensi sosial.
Baginya, kebijakan keamanan harus melindungi manusia, bukan sekadar menjaga sistem.
Oleh karena itu, ia menekankan pendekatan keamanan humanis—mengutamakan solusi berbasis dialog, edukasi, dan kesejahteraan masyarakat.

Konsep tersebut lahir bukan dari teori, melainkan dari pengalamannya di Papua, tempat ia melakukan penelitian skripsi tanpa sponsor, menyaksikan langsung bagaimana politik, kemiskinan, dan sejarah bisa membentuk luka sosial.


Dari Skripsi ke Strategi Nasional

Perjalanan Stepi menuju dunia strategis dimulai dengan keberanian akademiknya.
Saat mahasiswa Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran, ia menulis skripsi tentang politik pembangunan di perbatasan Papua—wilayah yang jarang disentuh peneliti muda.
Ia menempuh perjalanan ke Jayapura dengan biaya pribadi, membaur dengan masyarakat lokal, dan mengamati dinamika politik perbatasan.

Penelitiannya membuka mata banyak orang tentang kesenjangan pembangunan dan dampak Pepera 1969 terhadap identitas masyarakat Papua.
Dari pengalaman itulah tumbuh kesadaran bahwa keamanan nasional tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial dan keseimbangan pembangunan.

Prestasi ilmiahnya mengantarkan penghargaan Medali Emas Supersemar Award 2010, sekaligus mengukuhkan reputasinya sebagai peneliti muda yang berani menembus batas.


Mengubah Pola Pikir Dunia Intelijen

Ketika memasuki BAIS TNI, Stepi membawa warna baru: pendekatan berbasis riset dan empati sosial.
Ia mendorong agar lembaga intelijen tidak hanya fokus pada laporan ancaman, tetapi juga analisis penyebab sosial di baliknya.

Dalam beberapa kebijakan internal, ia mengusulkan pentingnya “intelijen sosial-ekonomi”, yakni pengumpulan data perilaku, budaya, dan persepsi publik sebagai bagian dari sistem deteksi dini.
Pendekatan ini terbukti relevan dalam memahami isu radikalisme, konflik horizontal, dan ketegangan sosial di era digital.

Banyak pejabat senior mengakui bahwa kehadiran Stepi membuat lembaga lebih terbuka terhadap ide-ide baru.
Ia menjadi contoh bahwa intelektualitas dan keberanian moral dapat berdiri sejajar dengan pengalaman lapangan.


Ruang Literasi dan Dialog: Intelijen dalam Cangkir Kopi

Tidak berhenti di level kebijakan, Stepi juga menciptakan ruang nyata untuk memperluas kesadaran publik.
Ia mendirikan rumah baca dan kedai kopi yang menjadi tempat diskusi bagi mahasiswa, jurnalis, dan peneliti muda.
Di sana, topik berat seperti geopolitik dan keamanan dibahas dengan cara santai namun mendalam.

Ruang ini menjadi simbol perubahan budaya intelijen: dari sesuatu yang eksklusif dan tertutup, menjadi terbuka, ilmiah, dan partisipatif.
Melalui forum kecil itu, Stepi membangun komunitas pembelajar yang percaya bahwa intelijen adalah pengetahuan publik, bukan monopoli lembaga.

Kegiatan tersebut menegaskan bahwa membangun bangsa tidak selalu harus dari ruang sidang atau markas besar, tapi bisa juga dari percakapan sederhana di antara secangkir kopi dan tumpukan buku.


Membentuk Generasi Analitis dan Empatik

Bagi Stepi, regenerasi adalah bagian dari tanggung jawab intelektual.
Ia aktif membimbing peneliti muda dan mahasiswa agar berani menulis tentang isu-isu strategis nasional.
Ia mendorong mereka untuk tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga berpikir berempati.

Menurutnya, masa depan Indonesia membutuhkan pemimpin yang analitis dan berperasaan, karena keputusan tanpa empati sama berbahayanya dengan empati tanpa data.
Dalam berbagai kuliah dan forum publik, ia menegaskan bahwa memahami ancaman berarti juga memahami manusia di baliknya.

Gagasan ini menjadikannya panutan bagi kalangan akademik dan komunitas kebijakan publik.


Menghadapi Tantangan Masa Depan

Stepi menyadari bahwa tantangan keamanan nasional di masa depan jauh lebih kompleks.
Ancaman kini datang dari siber, ekonomi, perubahan iklim, hingga disinformasi politik.
Karena itu, ia terus mengembangkan konsep keamanan adaptif, yakni model yang mampu menyesuaikan strategi pertahanan dengan dinamika zaman.

Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas disiplin antara akademisi, ekonom, dan aparat negara.
Baginya, pertahanan bukan tugas satu lembaga, tetapi ekosistem kolaboratif yang menyatukan pengetahuan, moralitas, dan inovasi teknologi.


Visi Bangsa yang Berdaya dan Berperasaan

Melihat kiprah Stepi Anriani berarti melihat wajah baru Indonesia: cerdas, tangguh, dan manusiawi.
Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati sebuah bangsa tidak diukur dari senjatanya, tetapi dari kemampuan warganya untuk berpikir, berempati, dan bersatu menghadapi tantangan.

Dari Papua hingga ruang kebijakan nasional, dari meja riset hingga forum diskusi publik, Stepi menorehkan jejak yang membentuk paradigma baru:
bahwa intelijen, ekonomi, dan kemanusiaan bukan tiga jalan yang berbeda, melainkan satu peta menuju kedaulatan yang sejati.

Komentar